Desa Podosoko pada awalnya hanya terdiri dari kelompok-kelompok golongan tertentu dan hidup bergerombol. Terpisah diantara yang kaya dan yang miskin. Kadang – kadang hanya karena makan harus kehilangan lahan pertanian dan pekarangan sehingga kehidupan masyarakat pada umumnya sangat memprihatinkan. Semakin lama akhirnya timbul pemikiran dan gagasan bahwa kelompok kehidupan tanpa kepemimpinan tentu tidak akan terarah. Yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kerusuhan sehingga yang kuat yang akan menang dan yang lemah akan kalah kehilangan segala-galanya.
Dengan adanya dinamika kehidupan yang seperti itu sehingga masyarakat berkesimpulan untuk membentuk kepemimpinan pada kelompok-kelompok warga masyarakat yang cocok dan yang akrab untuk hidup berdampingan dalam rumah tangga satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuklah satu perkampungan. Setelah terjadi kehidupan bermasyarakat dalam satu kampung kemudian mengangkat satu pemimpin untuk kalangan perkampungan dalam kapasitas kecil. Akan tetapi walaupun sudah terasa hidup dalam perlindungan, namun lama-kelamaan seorang pemimpin itu pun berbuat semena-mena terhadap masyarakat kecil.
Tibalah pada suatu musim kemarau panjang yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi yang kurang baik. Banyak petani yang mengalami gagal panen selama beberapa bulan karena kekurangan air. Dalam situasi seperti itu kemudian banyak terjadi kerusuhan diantara dusun yang satu dengan yang lainnya. Terjadi pencurian serta perselisihan antar warga yang disebabkan karena sulitnya mencari makan dan menimbulkan suasana yang sangat memprihatinkan.
Disebabkan karena suasana yang kurang kondusif, sehingga timbul gagasan untuk membentuk satu kepemimpinan baru yang dinamakan “lurah”. Lurah membawahi terdiri dari beberapa dusun. Hasil dari pada pembentukan pengelompokan beberapa dusun tersebut adalah :
1. Bulu Kidul, bulu Lor dan Gading Legok
2. Pandansari dan Soko
3. Kopen dan Podo
4. Gelap dan Sambo
5. Piji, Sobowono dan Sikuwung
Pada masa itu adalah masa penjajahan belanda sekitar tahun 1900. Yang mana terjadi sebuah perguncingan diantara kepemimpinan yang satu dengan yang lainnya. Persaingan materi yang tidak sehat pada saat itu sempat terjadi. Sehingga menimbulkan kecemburuan sosial yang hebat. Kemudian akhirnya beberapa lurah bersepakat untuk melebur kepemimpinannya dari beberapa dusun tersebut menjadi satu desa dengan nama Desa Podosoko.
Asal usul sebuah nama “podosoko” adalah sebuah hasil musyawarah mufakat. Pengambilan nama tersebut dari salah satu nama dusun yang memiliki penduduk cukup banyak dan dusun yang warga masyarakatnya tergolong lebih maju dan mampu pada saat itu, yakni dusun “Podo” (dalam huruf jawa “Pa” dan “Da”) digabung dengan nama dusun “Soko” (dalam huruf jawa “Sa” taling tarung dan “ka”). Sehingga terbentuk sebuah nama “Desa Podosoko”. Nama desa dengan ejaan ini masih dapat dijumpai pada papan nama maupun stempel desa maupun sekolah dalam arsip-arsipnya yang lama.
Dusun pada awalnya disebut dengan dukuh, dan diantara dukuh – dukuh yang tergabung dalam Desa Podosoko itupun dimungkinkan memiliki sejarah sendiri yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Beberapa dukuh yang ada saat itu adalah Bulu, Dukuh, Dondongan, Gading Legok, Piji, Ngangkruk, Gelap, Sobowono, Sambo dan Kenanga. Saat ini dusun yang ada jumlahnya sudah bertambah karena adanya penggabungan dua dusun, penghapusan karena penduduknya pindah menyatu dengan dusun terdekat dan jumlah penduduknya berkurang sehingga terlalu kecil untuk berdiri satu dusun juga terjadi pemekaran satu dusun menjadi dua karena penduduknya yang cukup banyak. Daftar nama dusun yang ada saat ini dapat dilihat dalam tabel yang ada pada buku ini. Yang mana dari wilayah beberapa dusun tersebut diblangket menjadi satu desa dengan nama Desa Podosoko dengan pimpinan Kepala Desa, sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku. Adapun nama-nama yang pernah menjabat kepala desa adalah :
1. Wangsa Dimeja tahun 1906 – 1911
2. Suraminjaya tahun 1911 – 1914
3. Truno tahun 1914 – 1931
4. Sigro tahun 1931 – 1938
5. Ganjar tahun 1938 – 1947
6. Suro Hardoyo tahun 1947 – 1970
7. PJ Tirto Diharjo tahun 1970 – 1975
8. PJ BM Soekoto tahun 1976 – 1980
9. BM Soekoto tahun 1980 – 1990
10. Riyanto tahun 1991 – 1999
11. Sanyoto tahun 1999 – 2007
12. Sutarto tahun 2007 – 2013
13. Edi Susila tahun 2014 – 2019
14. Tuban Subagiyo Tahun 2020 - 2028